Skip to main content

Stilistika: Telaah Ilmiah Terhadap Karya Sastra dengan Orientasi Linguistik

Kajian Stilistika:
Sejarah, Pengertian, Tujuan, dan Pendekatan



Sejarah Stilistika

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra ialah pendekatan stilistika. Sejarah perkembangan stilistika sebagai sebuah cabang ilmu yang berasal dari interdisipliner linguistik dan sastra tidak terlepas dari sejarah perkembangan retorika.

Menurut Ratna (2016:26), retorika adalah seni, teknik penguasaan sekaligus penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan yang bertujuan untuk membangkitkan emosi, mendorong, dan memengaruhi pendengar untuk mengambil sikap tertentu.

Ciri-ciri persuasi tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar bahwa stilistika adalah warisan genetis dari retorika, bukan puitika (Hough dalam Ratna, 2016:26).  

Menurut Barthes (dalam Ratna, 2016:31), retorika dan puitika bersatu pada abad pertengahan (500-1500M), di dalamnya seorang rethor sekaligus dianggap sebagai penyair. 

Hubungan antara retorika dengan puitika inilah yang dianggap sebagai awal lahirnya gagasan mengenai sastra, sekaligus memosisikan retorika sebagai gaya, bukan penalaran.
         
Menurut Ratna (2016:37), perubahan terjadi pada masa perkembangan linguistik modern yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure yang membedakan bahasa menjadi dua aspek, yaitu diakronis-sinkronis dan langue-parole.

Nurgiyantoro  (2014:53) dalam bukunya yang berjudul “Stilistika” menyatakan bahwa studi diakronis adalah kajian linguistik yang mendasarkan diri pada aspek kesejarahan bahasa, sedangkan studi diakronis adalah bahasa pada satu titik waktu bagian dari sejarah itu.

Contoh studi sinkronis adalah penelitian untuk mendeskripsikan karakteristik kebahasaan dalam sebuah novel, serta mendeskripsikan hubungan antara bentuk-bentuk kebahasaan tersebut dengan kepentingan efek dan fungsi estetis karya sastra secara detail.

Pada halaman yang sama dalam karyanya tersebut, Nurgiyantoro menyatakan bahwa langue merupakan sistem konvensi atau kaidah yang mencakup berbagai unsur bahasa, seperti sistem bunyi dan struktur, sedangkan parole merupakan penggunaan dan perwujudan sistem, seleksi terhadap sistem yang dipergunakan oleh penutur atau pengarang sesuai dengan konteks atau situasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, langue dapat dianalogikan sebagai struktur batin suatu bahasa, sedangkan parole sebagai struktur lahir bahasa tersebut. Jenis “gaya bahasa” persamaan atau perbandingan yang terbentuk berdasarkan pendayagunaan bentuk-bentuk kebahasaan, misalnya: kata majemuk, verba transitif, dan frasa nomina merupakan bentuk parole.


o------------------------------------------o


Pendapat Ahli Tentang Stilistika

Menurut  Darwis (1998:91), telaah ilmiah terhadap karya sastra dengan orientasi linguistik lazimnya dimasukkan ke dalam wilayah bidang ilmu stilistika. Stilistika terbagi dua, yaitu: stilistika linguistik dan stilistika sastra.

Stilistika linguistik berusaha menguraikan fakta-fakta linguistik untuk menjelaskan keberadaan dan keberbedaan penggunaan gaya bahasa antara pengarang yang satu dan pengarang yang lain (serangkaian ciri individual) dan antara kelompok pengarang yang satu dan kelompok pengarang yang lain (serangkaian ciri kolektif), baik secara sinkronik maupun diakronik atau menjelaskan perbedaan ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa nonsastra.

Beliau juga mengemukakan bahwa dalam stilistika linguistik tidak terdapat kewajiban untuk menjelaskan keterkaitan antara pilihan kode bahasa (bentuk linguistik) dan fungsi, efek estetika, atau artistik karya sastra.

Penekanan terhadap efek dan fungsi estetika karya sastra lazimnya disebut stilistika sastra. Efek estetika ini dicoba untuk dideskripsikan melalui penyodoran fakta-fakta linguistik. Demi pencapaian tujuan estetika ini, kalau perlu dilakukan penyimpangan atau manipulasi ketatabahasan dan semantik.

Hal ini menunjukkan bahwa seorang peneliti memiliki dua pilihan atau cara menganalisis sebuah karya sastra, yaitu melalui pendeskripsian bentuk-bentuk linguistik atau melalui pendeskripsian efek dan fungsi estetis karya tersebut.

Leech dan Short (1993:4) mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian yang mengarah pada usaha untuk menjabarkan “gaya” seorang pengarang melalui data-data linguistik yang terdapat dalam karyanya. Keduanya menyatakan bahwa secara tradisi, orang melihat hubungan erat antara gaya dan pribadi pengarang.

Kadang-kadang identitas pengarang dapat dikenali melalui beberapa unsur kecil yang menggambarkan kebiasaan pengucapan atau pemikiran. Hal ini memerkuat anggapan bahwa setiap penulis memiliki “cap ibu jari” linguistik, yaitu suatu kumpulan kebiasaan linguistik individu yang dengan cepat  terlihat dalam setiap tulisannya.

Uraian ini secara implisit menyampaikan tujuan stilistika linguistik karena lebih mengarah pada hubungan bentuk-bentuk linguistik tertentu atau yang bersifat unik “khas” dengan gaya pribadi pengarang.  

Menurut Nurgiyantoro (2009:280), kajian stilistika pada karya sastra dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis stilistika teks kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. 

Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam struktur lahir.

Melalui cara tersebut diperoleh bukti-bukti konkret tentang gaya bahasa sebuah karya sastra. Metode analisis tersebut penting karena dapat memberikan informasi mengenai karakteristik khusus sebuah karya.

Tanda-tanda stilistika dapat berupa: fonologi (pola ucapan dan irama), sintaksis (jenis struktur kalimat), leksikal (penggunaan kata abstrak, konkret, atau frekuensi penggunaan nomina, verba, atau adjektiva), dan bahasa figuratif (bentuk-bentuk pemajasan, permainan struktur, dan sebagainya).

Menurut beliau, kajian stilistika juga dimaksudkan untuk memperlihatkan hubungan antara apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik (perhatian linguis di pihak lain). 

Penjelasan linguistik literer didahului dengan observasi detail-detail linguistik, bukti-bukti linguistik, fungsi estetis dalam karya sastra, dan seterusnya.

Observasi linguistik akan menstimulasi wawasan estetis literer, sebaliknya wawasan estetis akan menstimulasi secara lebih lanjut terhadap observasi linguistik. 

Suatu hal yang penting ialah tuntutan adanya kepekaan dan kesanggupan untuk menanggapi fungsi-fungsi estetis sebuah karya dan mengobservasi tanda-tanda linguistik yang mendukung.

Jika dikaitkan dengan konteks  penelitian sebuah karya sastra, misalnya novel dan puisi, maka kekhasan bentuk-bentuk kebahasaan harus dilakukan untuk memperlihatkan “gaya bahasa” yang terbentuk dari pendayagunaan bentuk-bentuk linguistik tersebut kemudian dideskripsikan pula efek dan fungsi estetis yang ditimbulkannya sehingga terlihat secara jelas karakteristik kebahasaan “cap ibu jari” pengarang dalam novel-novelnya.

o------------------------------------------o

Pengertian Stilistika

Dalam buku “Stilistika” karya Nurgiyantoro (2014) dijelaskan bahwa secara etimologi, kata style (bahasa Inggris) dalam kata stylistic berasal dari akar kata stilus yang bersumber dari bahasa Latin, yang berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang berlapis lilin.

Benda runcing sebagai alat untuk menulis dapat diartikan bermacam-macam, misalnya untuk menusuk atau menggores. Kata “menusuk” dan “menggores” dapat diartikan menyentuh perasaan pembaca, bahkan penulis itu sendiri sehingga menimbulkan efek tertentu.

Bagi seseorang yang dapat menggunakan alat tersebut secara baik disebut sebagai praktisi gaya yang sukses (stilus exercitotus), sebaliknya bagi mereka yang tidak dapat menggunakan alat tersebut dengan baik disebut praktisi gaya yang kasar atau gagal (stilus rudis).     

Menurut Nurgiyantoro (2014:74), jika kata style diindonesiakan atau diadaptasikan menjadi “stile” atau “gaya bahasa”, maka istilah stylistic juga dapat diperlakukan sama, yaitu diadaptasikan menjadi “stilistika”. Istilah stilistika juga lebih singkat dan efisien dibandingkan terjemahannya, ‘kajian gaya bahasa’ atau ‘kajian stile’. 

Beberapa pendapat ahli lain mengenai stilistika, antara lain:

Satu, telaah ilmiah terhadap karya sastra dengan orientasi linguistik (Darwis, 1998:91).

Dua, ilmu yang mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra (Sudjiman, 1993).

Tiga, ilmu sastra atau ilmu gaya bahasa dalam kaitannya dengan aspek-aspek keindahan (Ratna, 2016:9).

Empat, studi mengenai gaya, yaitu untuk menerangkan hubungan antara bahasa dan artistik (Leech dan Short, 1993:5).

Sebuah pendekatan (atau secara lebih konkret: metode, teknik) untuk mengkaji penggunaan bahasa dalam konteks dan ragam tertentu (Nurgiyantoro, 2014:90).

Kelima pendapat yang dikemukakan para ahli dibagi menjadi tiga kelompok. 

Kelompok pertama, yaitu nomor satu dan nomor dua secara eksplisit mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian terhadap karya sastra melalui pendeskripsian data kebahasaan, sedangkan kelompok kedua, yaitu nomor tiga dan empat mengungkapkan bahwa stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bagaimana peranan gaya bahasa dalam membangun nilai-nilai keindahan.

Hal tersebut secara implisit menyatakan bahwa objek kajian stilistika ialah teks sastra karena berkaitan dengan aspek keindahan atau estetika. Di sisi lain, kelompok ketiga, yaitu nomor lima mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa teks sastra dan bahasa teks nonsastra.

Berdasarkan penjelasan stilistika secara etimologi dan uraian pendapat para ahli dapat diketahui bahwa pada umumnya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra atau karya sastra. Jadi, stilistika dapat diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra.

o------------------------------------------o

Tujuan Stilistika

Menurut Nurgiyantoro (2014:75-77), tujuan kajian stilistika, antara lain:

Satu, menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan analisis gaya teks kesastraan yang bersifat lebih objektif dan ilmiah.

Dua, mengetahui bagaimana bahasa dapat dikreasikan dengan didayagunakan sedemikian rupa melalui penyimpangan, pengulangan, penekanan, dan penciptaan ungkapan baru.

Tiga, menjelaskan fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika sampai grafologi.

Empat, menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memeroleh efek khusus.
  
Keempat tujuan yang telah diuraikan tersebut secara implisit berisi penjelasan mengenai cara kerja stilistika linguistik dan stilistika sastra.

Tujuan nomor satu berisi penjelasan umum, baik stilistika linguistik maupun stilistika sastra harus dikaji secara objektif dan ilmiah, sedangkan nomor dua mengarah pada cara kerja kajian stilistika linguistik, yaitu cara bahasa dikreasikan melalui berbagai bentuk penyimpangan, pengulangan, penekanan, dan penciptaan ungkapan baru oleh pengarang. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa diperlukan deskripsi bentuk-bentuk linguistik secara mendetail. 

Berikutnya, tujuan nomor tiga dan empat berkaitan dengan nilai keindahan dan efek khusus yang ditimbulkan oleh bentuk kebahasaan tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kajian stilistika untuk mengungkap ciri pribadi pengarang tidak harus berhenti pada pendeskripsian bentuk-bentuk linguistik semata, deskripsi mengenai bentuk, makna, efek, serta fungsi pembangkitan keindahan bentuk-bentuk linguistik juga perlu dilakukan untuk memeroleh hasil penelitian yang objektif dan ilmiah.

Selanjutnya, Spitzer (dalam Leech dan Short, 1993:7), mengilustrasikan tujuan stilistika sebagai lingkaran siklus yang saling mengisi satu sama lain. Hal itu dapat dilihat pada bagan berikut ini.


Bagan tersebut berisi penjelasan bahwa tujuan kajian stilistika berada pada dua sisi. Pertama, mencari bukti-bukti linguistik dan kedua mencari fungsi estetik karya sastra. Proses kajian stilistika linguistik berkisar pada deskripsi unsur-unsur bahasa yang ada dalam karya sastra.

Jadi, jika seseorang ingin mengkaji karya sastra karena ingin melihat ciri pribadi pengarang, maka ia harus memperlihatkan bukti linguistik yang terdapat dalam karya tersebut.

Oleh karena itu, pendeskripsian bentuk-bentuk kebahasaan, seperti: bentuk leksikal, gramatikal, majas, atau kohesi (konjungsi, pengulangan, penyulihan, dan pelesapan) harus dilakukan.

Di sisi lain, jika seseorang memilih kajian stilistika sastra, maka ia harus mendeskripsikan fungsi estetik yang terdapat dalam karya itu. Proses kajian stilistika sastra tidak memerlukan pendeskripsian bentuk-bentuk kebahasaan.

o------------------------------------------o

Pendekatan Stilistika

Dalam buku berjudul “Stilistika” karya Nurgiyantoro, gaya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara “apa” yang dikatakan dan “bagaimana” cara mengatakan atau antara isi dan bentuk teks.

Unsur isi mengarah pada informasi, pesan, atau makna proposisional, sedangkan bentuk merupakan variasi cara penyajian informasi yang berkualitas estetis atau yang mampu membangkitkan tanggapan emosional pembaca.

Kelompok yang berpandangan bahwa gaya bahasa merupakan cara menulis, cara berekspresi, dan membedakannya dengan unsur isi  disebut pendekatan dualisme.

Pendekatan dualisme memandang gaya sebagai dress of thought ‘bungkus pikiran’ atau sebagai manner of expression ‘cara berekspresi’. Hal itu berarti gaya dapat dipisahkan dan dibedakan dengan isi.

Isi yang sama dapat diekspresikan dengan berbagai bentuk ungkapan bahasa yang berbeda, dan hal tersebut berarti perbedaan gaya. Gaya merupakan masalah pilihan cara pengungkapan bahasa yang tidak perlu melibatkan isi.

Dalam arti, seseorang boleh memilih cara-cara berekpresi sesuai dengan yang diinginkannya. Muatan makna bisa tetap sama dan ia boleh memilih bentuk pengucapan yang berbeda-beda.

Hal itu menandakan bahwa muatan makna yang sama dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk ungkapan. Oleh karena itu, “gaya” dalam pandangan dualisme tidak lain adalah struktur lahir dari sebuah struktur makna.

Adapun kelompok yang berpandangan bahwa unsur bentuk dan isi tidak dibedakan disebut pendekatan monoisme. Menurut Leech dan Short (2007:17), dalam pendekatan monoisme pemilihan isi berarti pemilihan bentuk. Nurgiyantoro (2014:93) menjabarkan bahwa hal itu dapat juga berarti sebaliknya, yaitu pemilihan bentuk berarti pemilihan isi.

Sebuah isi atau muatan makna hanya dapat dan tepat diungkapkan dengan satu bentuk, dan bentuk itulah yang dipilih oleh pengarang. Jika isi tersebut diungkapkan dengan bentuk lain, maka muatan maknanya pasti berubah.

Sebagai konsekuensi pendekatan monoisme, seseorang tidak mungkin menganalisis gaya bahasa dalam suatu wacana karena dalam pendekatan ini tidak dibenarkan menganalisis aspek bahasa tertentu tanpa membicarakan maknanya.

Gaya yang dipilih oleh pengarang dipandang sebagai bentuk terbaik dari yang tersedia dalam bahasa tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam pendekatan monoisme, isi dan bentuk merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Sebenarnya dalam pendekatan dualisme, analisis bahasa juga tidak mengabaikan konteks dan muatan makna begitu saja.

Namun, hubungan antara gaya dan muatan makna lebih longgar, yaitu muatan makna yang sama dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk ungkapan. Gaya justru dianggap sebagai bentuk terbaik dari berbagai kesejajarannya yang dimungkinkan.

Selain kedua pendekatan yang dibahas sebelumnya, terdapat pula pendekatan pluralisme. Menurut Leech dan Short (2007:25-26), pendekatan pluralisme berawal dari pandangan Halliday yang membedakan bahasa ke dalam tiga fungsi, yaitu: ideasional, tekstual, dan interpersonal.

Nurgiyantoro (2014:95) menguraikan bahwa fungsi ideasional dan tekstual dapat disejajarkan dengan isi dan bentuk dalam pendekatan dualisme. 

Fungsi ideasional sejajar dengan aspek muatan makna, sedangkan fungsi tekstual sejajar dengan gaya, bentuk bahasa dapat dipilih dan diubah-ubah, dan fungsi interpersonal menyangkut hubungan antara bahasa dan pemakainya, yaitu: fungsi afektif, emotif, dan persuasif. Fungsi persuasif tidak terdapat dalam pandangan monoisme dan dualisme.

Menurut Nurgiyantoro (2014:96), pendekatan monoisme tidak dapat dipakai untuk mengkaji gaya karena bentuk dan isi dianggap sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Hal itu menyebabkan seseorang tidak dapat menguji ketepatan bentuk linguistik karena makna tidak dapat dipisahkan dari bentuk. Oleh karena itu, tidak mungkin makna dideskripsikan tanpa mengulangi setiap kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan makna itu.

Selanjutnya, pendekatan pluralisme yang berisi pandangan bahwa teks merupakan sebuah konstruksi metafungsional yang terdiri atas makna ideasional, tekstual, dan interpersonal yang kompleks cukup sulit untuk digunakan untuk mengkaji gaya sebuah teks sebab seseorang tidak mungkin mendiskusikan bahasa tanpa mengungkapkan hubungan pluralistik yang dapat menunjukkan bagaimana pilihan bentuk kebahasaan itu saling berkaitan satu dengan yang lain dalam jaringan pilihan fungsional.

Oleh karena itu, menurut beliau, dualisme merupakan pendekatan yang paling ideal untuk mengkaji gaya sebuah teks karena unsur gaya dan muatan makna dapat dipisahkan atau muatan makna yang sama dapat dibahasakan dengan berbagai cara yang dipandang terbaik dari bentuk yang dimungkinkan. 

Pengujian bentuk-bentuk yang dianggap unik atau khas memang harus dilakukan karena setelah pendeskripsian data dilakukan, secara alami bentuk-bentuk linguistik yang khas itu “memperlihatkan dirinya” membentuk gaya bahasa tertentu, serta menghasilkan efek dan fungsi tertentu dalam kalimat yang memuatnya.

Daftar Pustaka:

Darwis, Muhammad. 1998. "Penyimpangan Gramatikal dalam Puisi Indonesia". Disertasi.               Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Leech G.N & Short M.H. 1993. Gaya dalam Cereka: Penerapan Linguistik dalam Prosa Cereka Inggeris. Terjemahan oleh Umar Junus. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.

----------. 2007. Style in Fiction, a Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London: Longman.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

----------. 2014. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ratna, Nyoman K. 2016. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: Grafiti.


Teman-teman, tulisan ini merupakan bagian dari bab "Kajian Teori & Konsep" tesis saya (Karakteristik Kebahasaan Novel-novel Karya Hamka: Kajian Stilistika) Universitas Hasanuddin 2017.

Oleh karena itu, jika postingan ini bisa memberikan manfaat & menjadi referensi bagi penulisan, artikel, makalah,
 skripsi, tesis, atau disertasi kalian, maka boleh "di-copas" dengan syarat mencantumkan  alamat blog ini, serta daftar pustaka yang tercantum (agar tidak terjadi masalah di kemudian hari). 

#Hanya ingin berbagi pengetahuan & pengalaman hidup
(annisa.natsir@gmail.com)

Comments

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif : dewalotto.club

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review: Natur-E Advanced & Natur-E 300-IU

Kulit Lembab, Segar, dan Glowing dengan Natur-E Apa kabar … (Tidak tahu mengapa akhir-akhir ini saya hobi sekali me- review “sesuatu”) Memang ada keuntungannya? Mungkin …   :D (masih rahasia) So … Pada kesempatan sebelumnya, saya sudah me- review "Handbody Citra Mangir Jawa & Anggur India" . Kali ini saya ingin sekali membagi pengalaman positif tentang Vitamin Kulit Natur-E Advanced & Natur-E 300-IU . Friends, di awal kuliah S1 (sekitar tahun 2009) saya pernah mengonsumsi Natur-E 100-IU (warna hijau). (Kalau tidak salah zaman itu memang Natur-E hanya punya satu varian). Namun, saya kurang teratur mengonsumsinya. Maklum, waktu itu kesadaran untuk merawat kulit belum seperti sekarang ini (wkwkwk). Nah, di zaman now , saat perkembangan teknologi informasi sudah sedemikian mudahnya diakses, maka info seputar pentingnya menjaga kesehatan kulit pun mudah sekali didapatkan. Selain itu , sebagai wanita Indonesia yang ting

Keloid (Pengalaman Suntik Keloid di Rumah Sakit) (7)

Alhamdulillah, Keloid Itu Akhirnya Sembuh  Dalam tulisan kali ini saya ingin menghidangkan dan membagi pengalaman tentang  proses penyembuhan  masalah kulit yang saya alami, yaitu  KELOID. Berdasarkan pengalaman pribadi, saya  menyebut keloid  ini semacam  daging yang tumbuh  di bekas luka, misalnya: bekas cacar air, bekas gigitan nyamuk yang digaruk hingga menyebabkan lecet, bekas luka karena terjatuh, bekas luka bakar, dsb.  Untuk lebih jelasnya, berikut ini gambar keloid yang tumbuh di dada saya. Keloid yang tumbuh di bagian dada tersebut berawal dari cacar air yang saya alami pada tahun 2002 . Sebagai anak berusia 11 tahun yang penuh dengan rasa penasaran, saya selalu memperhatikan cacar air tersebut & akhirnya tergoda untuk menyentuh, memencet, dan mengorek-ngorek cacar air yang sudah mulai mengering itu.  Alhasil, bukannya sembuh atau kempes, bekas cacar air tersebut malah menimbulkan masalah baru, yaitu  keloid. Bisa jadi saat itu kuku saya

Pengalaman Terkena Penyakit Kulit Sarampa

Sarampa, Penyakit Apa Itu? dok. pribadi Assalamu Alaikum Friends … Pada postingan kali ini saya ingin berbagi pengalaman terkena penyakit kulit bernama Sarampa . Sepanjang perjalanan hidup (dramatis dikit), pertama kalinya di bulan April 2019 saya mengalami gatal yang sangat, sangat luar biasa pada sekujur tubuh. Awalnya saya pikir semua itu disebabkan oleh ulat bulu karena sudah seminggu, hewan imut tersebut berwara-wiri di halaman & di dalam rumah. Saya juga heran mengapa hewan kecil tersebut tiba-tiba saja berseliweran, bukan hanya di rumah saya tetapi di rumah tetangga-tetangga yang lain. Ilustrasi wabah ulat bulu Jangan-jangan kami terkena wabah ulat bulu :D Baca Juga: 4 Karakter Pria Yang Diidamkan Wanita Di sisi lain, saya juga menduga-duga bahwa gatal yang saya alami bukan hanya disebabkan oleh ulat bulu, melainkan karena saya baru saja mengganti produk sabun cair. Mungkin kandungan bahan di dalamnya tidak cocok dengan k