Kajian Stilistika:
Sejarah,
Pengertian, Tujuan, dan Pendekatan
Sejarah Stilistika
Salah
satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra ialah
pendekatan stilistika. Sejarah perkembangan stilistika sebagai sebuah cabang
ilmu yang berasal dari interdisipliner linguistik dan sastra tidak terlepas dari
sejarah perkembangan retorika.
Menurut Ratna (2016:26),
retorika adalah seni, teknik penguasaan sekaligus penggunaan bahasa, baik lisan
maupun tulisan yang bertujuan untuk membangkitkan emosi, mendorong, dan
memengaruhi pendengar untuk mengambil sikap tertentu.
Ciri-ciri
persuasi tersebut kemudian dijadikan
sebagai dasar bahwa stilistika adalah warisan genetis dari retorika, bukan
puitika (Hough dalam Ratna, 2016:26).
Menurut Barthes (dalam Ratna, 2016:31),
retorika dan puitika bersatu pada abad pertengahan (500-1500M), di dalamnya
seorang rethor sekaligus dianggap
sebagai penyair.
Hubungan antara retorika dengan puitika inilah yang dianggap
sebagai awal lahirnya gagasan mengenai sastra, sekaligus memosisikan retorika
sebagai gaya, bukan penalaran.
Menurut Ratna (2016:37),
perubahan terjadi pada masa perkembangan linguistik modern yang dipelopori oleh
Ferdinand de Saussure yang membedakan bahasa menjadi dua aspek, yaitu diakronis-sinkronis dan langue-parole.
Nurgiyantoro (2014:53) dalam bukunya yang
berjudul “Stilistika” menyatakan bahwa studi diakronis adalah kajian linguistik
yang mendasarkan diri pada aspek kesejarahan bahasa, sedangkan studi diakronis
adalah bahasa pada satu titik waktu bagian dari sejarah itu.
Contoh
studi sinkronis adalah penelitian untuk mendeskripsikan karakteristik
kebahasaan dalam sebuah novel, serta mendeskripsikan hubungan antara
bentuk-bentuk kebahasaan tersebut dengan kepentingan efek dan fungsi estetis
karya sastra secara detail.
Pada
halaman yang sama dalam karyanya tersebut, Nurgiyantoro menyatakan bahwa langue merupakan sistem konvensi atau
kaidah yang mencakup berbagai unsur bahasa, seperti sistem bunyi dan struktur, sedangkan
parole merupakan penggunaan dan
perwujudan sistem, seleksi terhadap sistem yang dipergunakan oleh penutur atau
pengarang sesuai dengan konteks atau situasi.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, langue dapat
dianalogikan sebagai struktur batin suatu bahasa, sedangkan parole sebagai struktur lahir bahasa
tersebut. Jenis “gaya bahasa” persamaan
atau perbandingan yang terbentuk berdasarkan pendayagunaan bentuk-bentuk
kebahasaan, misalnya: kata majemuk, verba transitif, dan frasa nomina merupakan
bentuk parole.
o------------------------------------------o
Pendapat Ahli
Tentang Stilistika
Menurut
Darwis (1998:91),
telaah ilmiah terhadap karya sastra dengan orientasi linguistik lazimnya
dimasukkan ke dalam wilayah bidang ilmu stilistika. Stilistika terbagi dua,
yaitu: stilistika linguistik dan stilistika sastra.
Stilistika
linguistik berusaha menguraikan fakta-fakta linguistik untuk menjelaskan
keberadaan dan keberbedaan penggunaan gaya bahasa antara pengarang yang satu
dan pengarang yang lain (serangkaian ciri individual) dan antara kelompok
pengarang yang satu dan kelompok pengarang yang lain (serangkaian ciri
kolektif), baik secara sinkronik maupun diakronik atau menjelaskan perbedaan
ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa nonsastra.
Beliau
juga mengemukakan bahwa dalam stilistika linguistik tidak terdapat kewajiban
untuk menjelaskan keterkaitan antara pilihan kode bahasa (bentuk linguistik) dan
fungsi, efek estetika, atau artistik karya sastra.
Penekanan
terhadap efek dan fungsi estetika karya sastra lazimnya disebut stilistika
sastra. Efek estetika ini dicoba untuk dideskripsikan melalui penyodoran
fakta-fakta linguistik. Demi pencapaian tujuan estetika ini, kalau perlu
dilakukan penyimpangan atau manipulasi ketatabahasan dan semantik.
Hal
ini menunjukkan bahwa seorang peneliti memiliki dua pilihan atau cara
menganalisis sebuah karya sastra, yaitu melalui pendeskripsian bentuk-bentuk
linguistik atau melalui pendeskripsian efek dan fungsi estetis karya tersebut.
Leech dan Short (1993:4)
mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian yang mengarah pada usaha untuk
menjabarkan “gaya” seorang pengarang melalui data-data linguistik yang terdapat
dalam karyanya. Keduanya menyatakan bahwa secara tradisi, orang melihat
hubungan erat antara gaya dan pribadi pengarang.
Kadang-kadang
identitas pengarang dapat dikenali melalui beberapa unsur kecil yang
menggambarkan kebiasaan pengucapan atau pemikiran. Hal ini memerkuat anggapan
bahwa setiap penulis memiliki “cap ibu jari” linguistik, yaitu suatu kumpulan
kebiasaan linguistik individu yang dengan cepat
terlihat dalam setiap tulisannya.
Uraian
ini secara implisit menyampaikan tujuan stilistika linguistik karena lebih
mengarah pada hubungan bentuk-bentuk linguistik tertentu atau yang bersifat
unik “khas” dengan gaya pribadi pengarang.
Menurut Nurgiyantoro (2009:280), kajian
stilistika pada karya sastra dimaksudkan untuk menggantikan kritik yang
bersifat subjektif dan impresif dengan analisis stilistika teks kesastraan yang
lebih bersifat objektif dan ilmiah.
Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai
bentuk dan tanda-tanda linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam
struktur lahir.
Melalui
cara tersebut diperoleh bukti-bukti konkret tentang gaya bahasa sebuah karya
sastra. Metode analisis tersebut penting karena dapat memberikan informasi mengenai
karakteristik khusus sebuah karya.
Tanda-tanda
stilistika dapat berupa: fonologi (pola ucapan dan irama), sintaksis (jenis
struktur kalimat), leksikal (penggunaan kata abstrak, konkret, atau frekuensi
penggunaan nomina, verba, atau adjektiva), dan bahasa figuratif (bentuk-bentuk
pemajasan, permainan struktur, dan sebagainya).
Menurut
beliau, kajian stilistika juga dimaksudkan untuk memperlihatkan hubungan antara
apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu pihak dengan deskripsi linguistik
(perhatian linguis di pihak lain).
Penjelasan linguistik literer didahului
dengan observasi detail-detail linguistik, bukti-bukti linguistik, fungsi
estetis dalam karya sastra, dan seterusnya.
Observasi linguistik
akan menstimulasi wawasan estetis literer, sebaliknya wawasan estetis akan
menstimulasi secara lebih lanjut terhadap observasi linguistik.
Suatu hal yang
penting ialah tuntutan adanya kepekaan dan kesanggupan untuk menanggapi
fungsi-fungsi estetis sebuah karya dan mengobservasi tanda-tanda linguistik
yang mendukung.
Jika dikaitkan dengan konteks penelitian sebuah karya
sastra, misalnya novel dan puisi, maka kekhasan bentuk-bentuk kebahasaan harus
dilakukan untuk memperlihatkan “gaya bahasa” yang terbentuk dari pendayagunaan
bentuk-bentuk linguistik tersebut kemudian dideskripsikan pula efek dan fungsi estetis
yang ditimbulkannya sehingga terlihat secara jelas karakteristik kebahasaan
“cap ibu jari” pengarang dalam novel-novelnya.
o------------------------------------------o
Pengertian Stilistika
Dalam buku “Stilistika” karya Nurgiyantoro (2014) dijelaskan bahwa secara
etimologi, kata style (bahasa
Inggris) dalam kata stylistic berasal dari akar kata stilus yang bersumber dari bahasa Latin,
yang berarti alat berujung runcing yang digunakan untuk menulis di atas bidang
berlapis lilin.
Benda runcing sebagai alat untuk menulis
dapat diartikan bermacam-macam, misalnya untuk menusuk atau menggores. Kata “menusuk”
dan “menggores” dapat diartikan menyentuh perasaan pembaca, bahkan penulis itu
sendiri sehingga menimbulkan efek tertentu.
Bagi seseorang yang dapat menggunakan alat
tersebut secara baik disebut sebagai praktisi gaya yang sukses (stilus exercitotus), sebaliknya bagi
mereka yang tidak dapat menggunakan alat tersebut dengan baik disebut praktisi
gaya yang kasar atau gagal (stilus rudis).
Menurut Nurgiyantoro (2014:74), jika kata style diindonesiakan
atau diadaptasikan menjadi “stile” atau “gaya bahasa”, maka istilah stylistic juga
dapat diperlakukan sama, yaitu diadaptasikan menjadi “stilistika”. Istilah
stilistika juga lebih singkat dan efisien dibandingkan terjemahannya, ‘kajian
gaya bahasa’ atau ‘kajian stile’.
Beberapa
pendapat ahli lain mengenai stilistika, antara lain:
Satu, telaah ilmiah terhadap karya sastra dengan
orientasi linguistik (Darwis, 1998:91).
Dua, ilmu yang mengkaji ciri khas
penggunaan bahasa dalam wacana sastra (Sudjiman, 1993).
Tiga, ilmu sastra atau
ilmu gaya bahasa dalam kaitannya dengan aspek-aspek keindahan (Ratna,
2016:9).
Empat, studi mengenai
gaya, yaitu untuk menerangkan hubungan antara bahasa dan artistik (Leech
dan Short, 1993:5).
Sebuah
pendekatan (atau secara lebih konkret: metode, teknik) untuk mengkaji
penggunaan bahasa dalam konteks dan ragam tertentu (Nurgiyantoro,
2014:90).
Kelima
pendapat yang dikemukakan para ahli dibagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama, yaitu nomor satu dan nomor dua secara eksplisit mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian terhadap karya sastra melalui pendeskripsian data kebahasaan, sedangkan kelompok kedua, yaitu nomor tiga dan empat mengungkapkan bahwa stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bagaimana peranan gaya bahasa dalam membangun nilai-nilai keindahan.
Kelompok pertama, yaitu nomor satu dan nomor dua secara eksplisit mengungkapkan bahwa stilistika merupakan kajian terhadap karya sastra melalui pendeskripsian data kebahasaan, sedangkan kelompok kedua, yaitu nomor tiga dan empat mengungkapkan bahwa stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bagaimana peranan gaya bahasa dalam membangun nilai-nilai keindahan.
Hal
tersebut secara implisit menyatakan bahwa objek kajian stilistika ialah teks
sastra karena berkaitan dengan aspek keindahan atau estetika. Di sisi lain,
kelompok ketiga, yaitu nomor lima mengungkapkan bahwa stilistika merupakan
kajian yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa teks sastra dan bahasa teks
nonsastra.
Berdasarkan penjelasan stilistika secara
etimologi dan uraian pendapat para ahli dapat diketahui bahwa pada umumnya
stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra atau karya sastra. Jadi,
stilistika dapat diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki pemakaian gaya bahasa
dalam karya sastra.
o------------------------------------------o
Tujuan Stilistika
Menurut
Nurgiyantoro (2014:75-77),
tujuan kajian stilistika, antara lain:
Satu, menggantikan kritik yang bersifat subjektif dan impresif dengan
analisis gaya teks kesastraan yang bersifat lebih objektif dan ilmiah.
Dua, mengetahui bagaimana bahasa dapat dikreasikan dengan didayagunakan
sedemikian rupa melalui penyimpangan, pengulangan, penekanan, dan penciptaan
ungkapan baru.
Tiga, menjelaskan fungsi keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu
mulai dari aspek bunyi, leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika
sampai grafologi.
Empat, menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana
pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memeroleh efek khusus.
Keempat tujuan yang telah diuraikan tersebut
secara implisit berisi penjelasan mengenai cara kerja stilistika linguistik dan
stilistika sastra.
Tujuan nomor satu berisi penjelasan umum, baik stilistika linguistik maupun
stilistika sastra harus dikaji secara objektif dan ilmiah, sedangkan nomor
dua mengarah pada cara kerja kajian stilistika linguistik, yaitu cara
bahasa dikreasikan melalui berbagai bentuk penyimpangan, pengulangan,
penekanan, dan penciptaan ungkapan baru oleh pengarang. Hal
tersebut mengisyaratkan bahwa diperlukan deskripsi bentuk-bentuk linguistik
secara mendetail.
Berikutnya, tujuan nomor tiga dan empat berkaitan dengan nilai keindahan dan
efek khusus yang ditimbulkan oleh bentuk kebahasaan tertentu. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kajian stilistika untuk mengungkap ciri pribadi
pengarang tidak harus berhenti pada pendeskripsian bentuk-bentuk linguistik
semata, deskripsi mengenai bentuk, makna, efek, serta fungsi pembangkitan
keindahan bentuk-bentuk linguistik juga perlu dilakukan untuk memeroleh hasil penelitian
yang objektif dan ilmiah.
Selanjutnya, Spitzer (dalam Leech dan Short, 1993:7), mengilustrasikan tujuan
stilistika sebagai lingkaran siklus yang saling mengisi satu sama lain. Hal itu
dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Bagan
tersebut berisi penjelasan bahwa tujuan kajian stilistika berada pada dua sisi.
Pertama, mencari bukti-bukti linguistik dan kedua mencari fungsi estetik karya
sastra. Proses kajian stilistika
linguistik berkisar pada deskripsi unsur-unsur
bahasa yang ada dalam karya sastra.
Jadi,
jika seseorang ingin mengkaji karya sastra karena ingin melihat ciri pribadi pengarang, maka ia harus memperlihatkan bukti linguistik yang
terdapat dalam karya tersebut.
Oleh
karena itu, pendeskripsian bentuk-bentuk kebahasaan, seperti: bentuk leksikal, gramatikal,
majas, atau kohesi (konjungsi, pengulangan, penyulihan, dan pelesapan) harus
dilakukan.
Di
sisi lain, jika seseorang memilih kajian
stilistika sastra, maka ia harus mendeskripsikan
fungsi estetik yang terdapat dalam karya itu. Proses kajian stilistika sastra
tidak memerlukan pendeskripsian bentuk-bentuk kebahasaan.
o------------------------------------------o
Pendekatan Stilistika
Dalam buku berjudul “Stilistika”
karya Nurgiyantoro, gaya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara “apa”
yang dikatakan dan “bagaimana” cara mengatakan atau antara isi dan bentuk teks.
Unsur isi mengarah pada informasi, pesan, atau makna
proposisional, sedangkan bentuk merupakan variasi cara penyajian informasi yang
berkualitas estetis atau yang mampu membangkitkan tanggapan emosional pembaca.
Kelompok yang berpandangan bahwa gaya bahasa merupakan
cara menulis, cara berekspresi, dan membedakannya dengan unsur isi disebut pendekatan
dualisme.
Pendekatan
dualisme memandang gaya sebagai dress of
thought ‘bungkus pikiran’ atau sebagai manner
of expression ‘cara berekspresi’. Hal itu berarti gaya dapat dipisahkan dan
dibedakan dengan isi.
Isi
yang sama dapat diekspresikan dengan berbagai bentuk ungkapan bahasa yang
berbeda, dan hal tersebut berarti perbedaan gaya. Gaya merupakan masalah
pilihan cara pengungkapan bahasa yang tidak perlu melibatkan isi.
Dalam
arti, seseorang boleh memilih cara-cara berekpresi sesuai dengan yang
diinginkannya. Muatan makna bisa tetap sama dan ia boleh memilih bentuk
pengucapan yang berbeda-beda.
Hal
itu menandakan bahwa muatan makna yang sama dapat diekspresikan ke dalam
berbagai bentuk ungkapan. Oleh karena itu, “gaya” dalam pandangan dualisme
tidak lain adalah struktur lahir dari sebuah struktur makna.
Adapun
kelompok yang berpandangan bahwa unsur bentuk dan isi tidak dibedakan disebut pendekatan monoisme. Menurut Leech dan Short (2007:17), dalam
pendekatan monoisme pemilihan isi berarti pemilihan bentuk. Nurgiyantoro (2014:93) menjabarkan
bahwa hal itu dapat juga berarti sebaliknya, yaitu pemilihan bentuk berarti
pemilihan isi.
Sebuah
isi atau muatan makna hanya dapat dan tepat diungkapkan dengan satu bentuk, dan
bentuk itulah yang dipilih oleh pengarang. Jika isi tersebut diungkapkan dengan
bentuk lain, maka muatan maknanya pasti berubah.
Sebagai
konsekuensi pendekatan monoisme, seseorang tidak mungkin menganalisis gaya
bahasa dalam suatu wacana karena dalam pendekatan ini tidak dibenarkan
menganalisis aspek bahasa tertentu tanpa membicarakan maknanya.
Gaya
yang dipilih oleh pengarang dipandang sebagai bentuk terbaik dari yang tersedia
dalam bahasa tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam pendekatan monoisme,
isi dan bentuk merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebenarnya dalam
pendekatan dualisme, analisis bahasa juga tidak mengabaikan konteks dan muatan
makna begitu saja.
Namun,
hubungan antara gaya dan muatan makna lebih longgar, yaitu muatan makna yang
sama dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk ungkapan. Gaya justru
dianggap sebagai bentuk terbaik dari berbagai kesejajarannya yang dimungkinkan.
Selain
kedua pendekatan yang dibahas sebelumnya, terdapat pula pendekatan pluralisme. Menurut
Leech dan Short (2007:25-26), pendekatan pluralisme berawal dari pandangan
Halliday yang membedakan bahasa ke dalam tiga fungsi, yaitu: ideasional,
tekstual, dan interpersonal.
Nurgiyantoro (2014:95) menguraikan
bahwa fungsi ideasional dan tekstual dapat disejajarkan dengan isi dan bentuk
dalam pendekatan dualisme.
Fungsi ideasional sejajar dengan aspek muatan makna,
sedangkan fungsi tekstual sejajar dengan gaya, bentuk bahasa dapat dipilih dan
diubah-ubah, dan fungsi interpersonal menyangkut hubungan antara bahasa dan pemakainya,
yaitu: fungsi afektif, emotif, dan persuasif. Fungsi persuasif tidak terdapat dalam
pandangan monoisme dan dualisme.
Menurut Nurgiyantoro
(2014:96), pendekatan monoisme
tidak dapat dipakai untuk mengkaji gaya karena bentuk dan isi dianggap sebagai
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Hal
itu menyebabkan seseorang tidak dapat menguji ketepatan bentuk linguistik
karena makna tidak dapat dipisahkan dari bentuk. Oleh karena itu, tidak mungkin
makna dideskripsikan tanpa mengulangi setiap kata yang dipergunakan untuk
mengekspresikan makna itu.
Selanjutnya,
pendekatan pluralisme yang berisi
pandangan bahwa teks merupakan sebuah konstruksi metafungsional yang terdiri
atas makna ideasional, tekstual, dan interpersonal yang kompleks cukup sulit
untuk digunakan untuk mengkaji gaya sebuah teks sebab seseorang tidak mungkin
mendiskusikan bahasa tanpa mengungkapkan hubungan pluralistik yang dapat
menunjukkan bagaimana pilihan bentuk kebahasaan itu saling berkaitan satu
dengan yang lain dalam jaringan pilihan fungsional.
Oleh
karena itu, menurut beliau, dualisme
merupakan pendekatan yang paling ideal untuk mengkaji gaya sebuah teks karena
unsur gaya dan muatan makna dapat dipisahkan atau muatan makna yang sama dapat
dibahasakan dengan berbagai cara yang dipandang terbaik dari bentuk yang
dimungkinkan.
Pengujian
bentuk-bentuk yang dianggap unik atau khas memang harus dilakukan karena
setelah pendeskripsian data dilakukan, secara alami bentuk-bentuk linguistik yang
khas itu “memperlihatkan dirinya” membentuk gaya bahasa tertentu, serta
menghasilkan efek dan fungsi tertentu dalam kalimat yang memuatnya.
Daftar Pustaka:
Darwis,
Muhammad. 1998. "Penyimpangan Gramatikal dalam Puisi Indonesia". Disertasi.
Makassar: Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Leech G.N & Short M.H. 1993. Gaya dalam Cereka:
Penerapan Linguistik dalam Prosa Cereka Inggeris. Terjemahan oleh Umar Junus. Malaysia:
Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
----------. 2007. Style in Fiction, a Linguistic
Introduction to English Fictional Prose. London: Longman.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
----------. 2014. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratna, Nyoman K. 2016. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa,
Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta:
Grafiti.
Teman-teman, tulisan ini merupakan bagian dari bab "Kajian
Teori & Konsep" tesis saya (Karakteristik Kebahasaan Novel-novel Karya
Hamka: Kajian Stilistika) Universitas Hasanuddin 2017.
Oleh karena itu, jika postingan ini bisa memberikan manfaat & menjadi referensi bagi penulisan, artikel, makalah, skripsi, tesis, atau disertasi kalian, maka boleh "di-copas" dengan syarat mencantumkan alamat blog ini, serta daftar pustaka yang tercantum (agar tidak terjadi masalah di kemudian hari).
Baca juga:
5 Kenyataan Hidup Kuliah di Fakultas Kedokteran
Mau ke Makassar? Pahami 13 Imbuhan Khas Ini
5 Kenyataan Hidup Kuliah di Fakultas Kedokteran
Mau ke Makassar? Pahami 13 Imbuhan Khas Ini
#Hanya ingin berbagi pengetahuan & pengalaman hidup
(annisa.natsir@gmail.com)
(annisa.natsir@gmail.com)
Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
ReplyDeletecuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
yuu buruan segera daftarkan diri kamu
Hanya di dewalotto
Link alternatif : dewalotto.club